Cinta di tengah badai

Chapter 6: Balas Dendam



"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Trisya.

"Selesaikan makanmu, setelah ini kita pulang!" tukas Ardi.

"Tidak mau! Aku pulang sendiri saja!" Trisya hendak berdiri tapi Ardi menarik tangannya agar tetap duduk.

"Sudah kubilang, selesaikan makanmu..Lalu kita pulang! Aku tidak ingin mengulangi untuk yang ketiga kalinya, Trisya!" tegas Ardi.

"Kau berani sekali mengancamku!"

"Memangnya kamu siapa hingga aku tak boleh mengancammu?"

"Kau.."

"Apa perlu aku suapi makannya? Tapi harus kamu ingat, aku tak bisa melakukannya seperti seorang ibu yang dengan sabar menyuapi anaknya yang rewel!" tegas Ardi. "Dan harus kamu ingat juga, Trisya.. Aku ini orang lapangan. Aku tak biasa membuang waktu!"

Trisya tak menjawab.

"Aku tak punya ikatan apapun padamu.. Jadi kamu tak bisa membuatku harus mengikuti apa yang kamu mau. Satu satunya perintah yang aku ikuti hanya perintah papa kamu! Kamu salah orang jika ingin bermain main denganku!"

Trisya menatap Ardi tajam.

"Ok, kita lihat siapa yang akan memenangkan war ini!" tantang Trisya.

Ardi membalas tatapan Trisya.

"Selesai!" kata Trisya.

"Ayo!"

Trisya berjalan keluar, tempat itu sudah sepi. Hanya ada Amir yang duduk di depan meja Kasir.

"Sudah selesai?"

Trisya tersenyum.

"Terimakasih ya Om, masakan om selalu enak. Aku akan merindukannya saat kuliah di Inggris nanti".

"Jauh sekali.. Jangan study terus. Usiamu sudah cukup untuk berumah tangga."

"Ah, om ini.. Berapa om?"

"Malam ini aku yang traktir," kata Amir. "Tidak usah bayar".

"Mana boleh begitu?"

"Lelaki itu siapa?" bisik Amir.

"Dia mungkin akan jadi pengawal pribadiku.." bisik Trisya.

"Benarkah?"

"Biar kalau aku berencana study, aku ingat pulang ke rumah, karena ada yang menungguku."

"Aparat?"

"Anggotanya papa.." Trisya tertawa.

"Pantas seperti pernah melihatnya.."

"Aku pulang ya, Om.." pamit Trisya.

"Hati-hati.. Jam segini di depan kadang ada preman," Amir mengingatkan.

"Ok, om.." Trisya melambaikan tangannya sambil berjalan menuju parkiran.

Ardi berjalan di belakangnya

Trisya tersenyum tipis saat melihat beberapa orang lelaki duduk di pinggir jalan.

Ardi menarik tangan Trisya yang hendak berjalan keluar dari parkiran.

"Mau kemana?"

"Pulanglah! Aku sudah memesan taxi online. Tentu saja aku menunggu di pinggir jalan!"

"Jam segini berdiri dipinggir jalan dengan pakaian minim begitu dan disana ada beberapa preman yang berkumpul? Kau mau cari mati? Masuk!"

"Kau berani sekali memerintahku??"

"Sudah kubilang, aku hanya mengikuti kata-kata ayahmu!"

"Berani kau memaksaku, aku akan berteriak agar orang-orang menghajarmu!"

"Silakan! Aku juga bisa berkata pada orang kalau kau adalah perempuan yang sedang diincar polisi! Aku punya tanda pengenal, Trisya!"

Ardi membuka pintu.

"Masuk!"

Trisya segera masuk, disusul Ardi.

"Pasang sabukmu!"

"Tidak usah memerintahku!"

"Aku bukan orang yang sabar Trisya!"

"Lalu kenapa?"

"Terserah kamu!" Ardi menghidupkan mesin mobilnya.

Trisya tersenyum.

"Ternyata kau tampan juga ya, bang.." Trisya memandangi wajah Ardi.

Ardi tak menjawab.

"Bagaimana kalau kita membuat perjanjian, bang?"

"Aku tak mau membuat perjanjian dengan siapapun."

"Sombong sekali! Kita lihat saja.. Siapa yang akan menang!"

"Tidak ada yang menang karena kita tidak sedang berlomba."

"Anjing!"

"Jangan memakiku dengan kata-kata kotor!"

"Kenapa? Tidak suka? Akan aku katakan terus menerus!" tantang Trisya. "Kau bisa apa? Memukulku?"

"Berhentilah memaki dengan kata kotor! Apa lagi pada orang yang lebih tua darimu! Bukannya pak Richard sudah mengajarimu untuk menjaga emosimu?"

"Salahkan bu Ariana! Karena dia yang mengajariku memaki!"

"Tidak usah menyalahkan ibu Ariana! Kau kan bisa berpikir? Aku heran, Bagaimana caramu mengajar di kampus? Ah.. Sudahlah! Perbanyak menyebut nama Tuhan agar hidupmu tenang!"

***

Pagi itu..

"Hallo semua. Ini ada titipan dari pak Yacob, katanya untuk team kalian yang berhasil membongkar kasus mutilasi di gudang kayu.." Taufan meletakkan beberapa kotak makanan di atas meja kerja Ardi.

"Terimakasih, Taufan.. Sampaikan terimakasih pada pak Yacob. Sudah pensiun tapi masih tetap ingat pada kami," kata Dika.

"Ardi kemana?" tanya Taufan.

"Keluar," jawab Bayu.

Pintu ruangan itu diketuk.

"Kak Trisya.." sapa Dika.

"Papa ada?"

"Ada kak.."

"Ada tamu?"

"Tidak.. Tapi mungkin sebentar lagi mau keluar".

"Bang Ardi kemana?"

"Keluar kak.."

"Bilang papa, aku mau ketemu papa.."

Trisya duduk di depan meja Ardi.

"Hai.." sapa Taufan.

Trisya tersenyum tipis.

Dika hendak berjalan ketika Richard terlihat keluar dari ruangan.

"Trisya?" sapa Richard.

"Papa mau keluar?"

"Ya, janji makan siang.. Ada apa?"

"Aku mau bicara soal study ke Inggris, Pa.. Tadi sudah bicara dengan kampus.." Trisya menunjukkan berkas di tangannya.

"Di dalam saja.. Eh, Taufan?"

"Saya pikir bapak tidak lihat saya.." ucap Taufan.

Richard tertawa.

"Ayo, Trisya.."

Trisya segera mengikuti Richard.

"Anaknya tidak ada yang sekolah di indonesia ya?Jauh mainnya.. sampai ke inggris," kata Taufan sambil duduk di depan meja Ardi.

"Ada apa?" tanya Richard setelah di ruangan.

"Apa mama sudah sembuh?"

"Kenapa tidak bertanya langsung?"

"Buat apa? Aku sebenarnya tidak peduli dia sakit, tapi aku tak suka jika papa tak datang datang melihatku."

"Aldo ganti yang sakit sekarang.. Dia rewel," jelas Richard.

"Dia selalu menjadi prioritas.. Aku terabaikan."

"Jangan membuat masalah lagi. Kamu sudah membuat repot Ardi beberapa hari ini."

"Pa.." panggil Trisya

"Ya.."

"Soal aku hamil bagaimana?"

"Sudah kamu cek ke dokter?"

"Kau tidak percaya aku hamil?"

"Bagaimana bisa?"

"Lucu sekali pertanyaanmu, pak! Apa kau lupa kalau kau banyak menghabiskan malam denganku? Apa kau lupa sudah beberapa kali menyiramkan benihmu di rahimku?"

Richard terdiam.

"Hubungan kita bukan baru mulai, Pa.. Sudah 4 bulan aku kau jadikan simpananmu!

Pintu ruangan itu diketuk.

"Masuk.."

Tari melangkah masuk.

"Pak.. Izin, minta tanda tangan."

Richard memandang jam dinding.

"Nanti kita bahas di rumah, Trisya.. Papa sudah janji makan siang."

"Papa yang bilang pada mama ya.. Nanti aku menikah dulu sebelum berangkat ke Inggris. Kalau aku yang bilang, nanti mama tidak setuju lagi," Trisya melangkah keluar.

Tari tersenyum sembari menghampiri meja Richard sembari menyerahkan berkas.

"Trisya mau ke Inggris, pak?" tanya Tari.

"Rencana. Mau ambil PhD.."

"Wah hebat.."

"Selagi otaknya mampu."

"Iya juga.. Tapi kalau dia menikah, suaminya tetap disini atau memang sudah planning study bersama, pak?"

"suami?'

"Tadi katanya mau menikah sebelum berangkat."

Richard tertawa.

"Dia itu tidak jelas.."

"Oh.."

"Ardi sudah pulang?" tanya Richard.

"Sudah, pak.."

Pintu ruangan itu diketuk.

"Pak.." panggil Ardi. "Sudah ditunggu.."

"Ok.." Richard mengembalikan berkas yang sudah ia tandatangani pada Tari sebelum bergegas keluar bersama Ardi.

"Ayo.."

"Trisya mengaku hamil," ucap Richard saat sudah berada dalam mobil.

"Dia sudah bicara pada bapak?"

"Baru saja.. Kamu sudah tahu?"

"Malam waktu hujan saya menjemputnya.. Tapi baru keesokan harinya dia menunjukkan test pack. Saat itu saya baru sadar kalau dia sedang tidak baik baik saja sampai minta dinikahi."

"Maaf dia merepotkanmu.."

"Dia sedang bingung, pak.."

"Aku tahu.."

***

"Kakak sudah tidur?" tanya Richard.

"Sudah, Pak.. Tadi mengeluh tidak enak badan. Tapi mau diantar ke dokter tidak mau.. Cuma minum jamu yang dibuatkan ibu.."

Richard segera menaiki tangga. Memasuki kamar melihat Trisya yang sedang tidur.

Ia menghampiri dan duduk di samping Trisya.

Richard menyentuh dahi Trisya. Sedikit hangat.

Tiba-tiba Trisya memeluk pinggang Richard.

"Katanya tidak enak badan?"

"Cuma capek.." jawab Trisya.

"Bawaan janin?"

"Kau percaya aku hamil?"

"Kenapa?"

Trisya bangkit dan duduk di samping Richard.

"Kamu menunjukkan test pack pada Ardi sebelum menunjukkan padaku?"

"Jika aku tunjukkan padamu, apakah kau akan memelukku dengan bahagia seperti ketika tahu mama mengandung Aldo? Kau malah bisa-bisanya bertanya.. bagaimana bisa? Saat aku katakan aku hamil," ucap Trisya. "Pertanyaan yang sangat aneh. Kecuali kau tidak pernah meniduriku."

Richard menarik Trisya dalam pelukannya.

"Maaf tak bisa membuatmu bahagia disebut sebagai istri.."

"Tidak apa-apa.. Kau tahu aku rela hanya menjadi simpananmu."

Richard mengelus pipi Trisya.

"Aku harus mengakui jika aku mencintaimu dan tak ingin melepaskanmu."

"Benarkah?"

"Ya..!"

Trisya tersenyum.

"Terimakasih , Pa.."

"Oya, soal melanjutkan study ke Inggris.."

"Aku sengaja mengambilnya. Biar tidak ada yang melihat perutku semakin besar."

"Tapi tidak perlu ke Inggris".

'Lalu?"

"Nanti saja dipikirkan. Tidurlah."

"Love you, Pa.."

Richard tak menjawab, handphonenya berdering. Ariana memanggil.

"Halo.." sapa Richard sambil berjalan ke Balkon.

"Trisya hamil!"

"Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Siapa lagi yang bilang kalau bukan anak gila itu sendiri yang bicara padaku? Sudah tuntas dendamnya kan dengan membuatku merasa dunia ini menghimpitku!"

"Maaf.."

"Apa yang akan kau lakukan sekarang? Perempuan itu mengandung hasil perbuatanmu."

"Yang jelas anak itu tidak akan disingkirkan."

"Kau akan membayar orang untuk menjadi suami bayaran baginya? Orang-orangmu pastinya tidak akan menolak apa yang kau perintahkan, bukan?"

"Tidak akan seperti itu."

"Perutnya akan semakin besar.. kau tidak takut orang lain akhirnya akan curiga?"

"Tidak usah kamu pikirkan. Aku tahu apa yang akan aku lakukan!"

"Kau memang sudah gila!" Ariana menutup telponnya.

***

Ardi masih duduk di kantor sambil memandangi lengannya. Teringat saat Trisya menggigit lengannya malam itu sepulang dari restoran Amir.

"Kau kenapa?"

"Aku sengaja. Kata orang bekas gigitan di lengan akan selalu membuatmu ingat pada wanita yang menggigitmu," Trisya tertawa. "Tidak sakit kan?"

Ardi tak menjawab.

"Aku berencana akan melanjutkan study ke Inggris," kata Trisya.

"Karena hamil?"

"Bagaimana lagi? Yang berbuat tak mungkin bisa menikahiku. Mengakui hubungannya denganku sama saja menghabisi karirnya.." ucap Trisya.

"Kamu menyesal?" tanya Ardi.

"Tidak.." Trisya memandang jauh ke depan. "Aku punya anak dari lelaki yang kucintai. Meski tidak bisa kumiliki."

"Bagaimana kau bisa sekejam itu pada ibumu?"

"Jangan hanya melihat kalau aku yang kejam. Tapi lihatlah betapa seumur hidupku betapa perempuan itu tak pernah adil padaku! Salah jika aku membalas dendam padanya?"

"Balas dendam itu berguna tidak? Malah membuatmu semakin hancur dan kamu menyeret orang lain mengikutimu hancur."

"Tidak akan. Aku tak akan membuat papa kehilangan apa yang sudah ia dapatkan. Selama aku tidak mengadukannya, ia akan baik baik saja.."

"Kamu tidak akan mencarikan ayah untuk anakmu?"

"Abang mau menjadi ayahnya?"

"Kenapa aku?"

"Makanya jangan bertanya!" ucap Trisya.


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.