Cinta di tengah badai

Chapter 12: Perjanjian



"Tapi.. Menemani Trisya menjalani hari hari yang penuh kebingungan karena berpikir kalau itu adalah anak yang tak bisa ditunjukkan ke publik sebagai anak kandungnya bapak membuat saya merasa betapa pengecutnya saya membiarkan Trisya sendirian menanggung hasil perbuatan saya."

***

Ariana menatap Trisya. Putrinya itu terlihat sangat cantik dalam balutan pakaian pengantin yang ia kenakan. 18 tahun yang lalu Trisya adalah anak perempuan yang dipaksa tak boleh menangis meski harus tinggal sendirian di rumah. Anak kecil yang ketika rumahnya gelap gulita akibat listrik padam hanya duduk diam memeluk lututnya menunggu ibunya pulang dari bekerja. Ibu yang sering kali lupa untuk menyiapkan semua keperluan putri tunggalnya ketika dijemput oleh pacarnya dan sering menghabiskan waktu hingga tengah malam hanya untuk bersenang-senang dan melupakan apa yang dilakukan anak sekecil itu untuk mengisi perutnya yang kosong.

Ariana menghapus airmatanya.

"Aku tak percaya bisa melihatmu mengenakan pakaian ini.. Tidak mengira jika putri kecilku tiba di hari yang sangat dinantikan oleh semua wanita di atas bumi ini.."

"Kau senangkan? Aku tak akan lagi membuat suamimu datang ke rumah ku lagi? Kau menang?"

"Ini bukan soal menang atau kalah.. Ini tentang kebahagiaan yang harus kau bangun lewat pernikahanmu. Lupakan masa lalumu.. Termasuk masa dimana kau menjadi korban keegoisanku. Maafkan mama sudah membuatmu terlempar ke dunia hitam dan tak pernah peduli bagaimana caramu pulang."

"Aku tidak pernah memaafkanmu hingga aku mati," desis Trisya.

Ariana memandang Ardi.

"Saya percayakan putri tunggal saya dalam lindunganmu. Tolong perlakukan dia dengan baik.." pinta Ariana.

"Insha Allah, Ma.."

***

Trisya memandang jam dinding. Sudah pukul 11 malam. Ardi belum juga terlihat muncul dari balik pintu. Padahal lelaki itu berjanji akan mengantarnya untuk ke dokter kandungan malam ini.

Di pandanginya photo pernikahan yang terpajang di dinding. Sudah 6 minggu ia resmi menyandang panggilan sebagai nyonya Rifki Ardiansyah.

Pintu rumah itu di buka. Ardi melangkah masuk.

"Eh, belum tidur?" tanya Ardi.

Trisya merengut.

"Kau kemana? Janjinya mau mengantar aku ke dokter!"

"Maaf.. Mendadak ada penangkapan," Ardi duduk di samping Trisya yang langsung berdiri.

"Kemana?"

"TIDUR!" Trisya melangkah masuk ke kamar.

Trisya duduk di sisi tempat tidur. Ia meraih handphonenya.

Sebuah chat dari Robby masuk.

"Katanya kau akan berangkat ke Inggris setelah menikah? Kapan?"

"Minggu depan. Kenapa?"

"Bisa kita bertemu sebelum kamu berangkat?"

"Aku tidak janji."

"Ada yang harus kau tahu.. Mantan pacarnya Ardi sudah berada disini."

"Lalu kenapa?"

"Kau kira Ardi akan melihatmu jika dokter wanita itu kembali dalam hidupnya? Aku melihat mereka bertemu di sebuah cafe jam 8 malam tadi."

"Aku tidak peduli jika dia masih mencintai wanita itu."

Pintu kamar dibuka. Ardi melangkah masuk. Trisya segera meletakkan handphonenya.

"Mandi dulu.." ia mendorong tubuh Ardi yang merebahkan tubuhnya di tempat tidur.

"Sebentar lagi, Yang. Abang capek sekali," Ardi menarik bantal.

Trisya memandang Ardi.

"Abang sudah makan?" Ia memijat bahu Ardi.

"Sudah.."

"Minggu depan aku sudah terbang ke Inggris.. Tidak apa-apa jika ditinggal sendiri?"

"Tidak apa-apa. Biasanya juga melakukan semua hal sendiri."

"Kau ini! Tidak punya perasaan!" Trisya menepuk bahu Ardi.

"Aduh, salah abang dimana?"

"Masa baru menikah 6 minggu kau sudah membiarkan istrimu yang sedang hamil untuk pergi ke eropa?"

"Kamukan study? Rencananya sudah ada sejak kita belum menikah."

"Nanti kau main perempuan. Soalnya aku bisa 2-3 tahun tidak pulang."

"Astaga.."

"Siapa tahu ada yang merayumu!"

"Sudah punya istri tidak mungkin membiarkan perempuan lain masuk merusak rumah tangga kita?"

"Kau kan tidak cinta padaku. Kau hanya kebetulan harus bertanggungjawab karena terlanjur membuatku hamil!"

"Sudah dinikahi tidak mungkin tidak dicintai."

Ardi bangkit dari tempat tidur.

"Abang mandi dulu.."

Trisya merengut, lama ia termenung sebelum akhirnya meraih handphone untuk membaca chat lanjutan dari Robby.

"Kau bisa bilang tidak peduli, tapi yakin kau tak akan panik jika suamimu direbut perempuan lain? Ingat karma, Trisya! Kau dengan begitu kejam merampas suami ibu kandungmu."

"Kau pergi mati saja!" balas Trisya.

"Kau pikir tidak ada yang menyukai suamimu itu? Dia memang terhitung sangat dingin dan kaku. Tapi banyak perempuan yang menginginkannya. Kau pikir laki laki yang sudah beristri tidak akan tergoda ketika ada yang merayunya saat istrinya tidak ada? Ardi bukan malaikat yang tak punya birahi. Buktinya ia bisa jatuh ke pelukanmu dan berbuat dosa?"

Pintu kamar itu dibuka. Ardi melangkah masuk, Trisya langsung melemparkan handphone ke tempat tidur.

"Ada apa?" tanya Ardi.

"Tidak apa-apa, cuma kaget."

"Kaget kenapa?"

"Masih suka lupa kalau sekarang di kamar tidak sendiri lagi. Jadi kalau ada yang membuka pintu kaget."

"Oh.."

Trisya memandang Ardi. Tubuh lelaki yang hanya terbalut handuk itu terlihat sangat atletis. Pantas saja jika tubuhnya terlihat sangat sempurna jika mengenakan kaos ataupun kemeja.

Ardi menoleh pada Trisya.

"Ada apa?"

"Tidak apa-apa.." Trisya mengalihkan pandangan.

Trisya kembali memandang Ardi. Lelaki itu sudah selesai mengenakan pakaian. Ia berjalan menghampiri tempat tidur.

"Kamu kenapa? Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Ardi. "Kenapa melihat seperti itu?"

"Tidak apa-apa," Trisya memunggungi Ardi.

Diraihnya buku dan langsunĝ membacanya.

Tiba-tiba dirasakannya tangan Ardi dilingkarkan di pinggangnya.

"Sudah malam, bacanya dilanjutkan besok saja," bisik Ardi sambil mengelus perut Trisya.

"Tanggung.." jawab Trisya.

Ardi menarik buku itu dan meletakkannya di samping lampu tidur.

"Abang, sini.."

Ardi menarik Trisya ke pelukannya, mereka saling bertatapan begitu dekat.

"Kau mau apa?" tanya Trisya.

"Tidak bolehkah melihat wajah istri sebelum tidur? Bukannya tadi kamu yang memulai? Terus memandangiku?"

Trisya tak menjawab.

"Aduh.. jantungku ini kenapa tiba-tiba tak bisa dikondisikan? Sejak tadi berdegub semakin kencang.." batin Trisya.

"Kau bertemu mantanmu di sebuah cafe jam 8 malam ini?" tanya Trisya hati-hati.

"Siapa yang bilang?"

"Tidak penting aku tahu dari mana."

Ardi membelai rambut Trisya.

"Ya.."

"Kau ini.. kenapa jujur sekali mengakuinya?" gerutu Trisya.

"Tadi ada kasus kematian di kliniknya.. Usai laporan dia mentraktir abang minum kopi."

Trisya merengut.

"Bibirnya jangan seperti itu.." ucap Ardi.

"Kenapa memangnya?"

"Terlihat sangat menggairahkan.." Ardi mengecup bibir Trisya.

"Kau ini.." Trisya mengalungkan lengannya di leher Ardi membalas ciumannya. "Tapi kau juga terlihat sangat menggodaku, bang.. saat tadi hanya mengenakan handuk menutupi tubuhmu..Membuat aku menginginkanmu."

Ardi tertawa.

"Kenapa tertawa?"

"Tidak apa-apa."

Trisya membelai dada Ardi.

"Dada bidangmu ini hanya punya waktu seminggu lagi untuk bisa menghangatkan tubuhku, bang.. Kau akan membuang kesempatan malam ini?" goda Trisya.

"Ah iya.. Ini juga masih belum terlalu larut kan untuk olahraga sebentar?" Ardi menindih tubuh Trisya sembari kembali mengecup bibir Trisya.

"Cepat sekali kau tergoda, bang?" Trisya membelai punggung Ardi.

"Kan sudah halal? Tidak apa jika cepat tergoda melihatmu," Ardi mencium leher Trisya.

"Bang.."

"Ya.."

"Kalau mantanmu minta kembali padamu bagaimana?"

"Ya biar saja."

"Dia cantik tidak?"

"Lebih cantik kamu.." Ardi melepaskan dress Trisya jatuh ke lantai.

"Masa? Katanya dokter?"

"Sudah jadi mantan," Ardi mencium leher Trisya.

"Kenapa bisa jadi mantan?"

"Tidak cocok pastinya.."

"Mantanmu banyak tidak?" Trisya menengadahkan kepalanya, menikmati sentuhan tangan dan ciuman Ardi di sekujur tubuhnya.

"Pertanyaannya tidak penting," Ardi memagut bibir Trisya.

"Lalu apa yang penting?"

"Sudah tahu masih bertanya.."

"Uh.. kejar setoran?" Trisya mengerang perlahan saat tubuhnya dimasuki lelaki itu.

"Apa harus dijawab?" Ardi mendorong lebih dalam.

"Pokoknya jika aku sudah jauh, awas kalau abang bermain mata ya?"

"Iyaa.."

Dan Trisya tak bicara lagi. Membiarkan pergelutan malam itu selesai hingga ke puncak dan mengatur kembali deru nafasnya agar kembali normal.

Trisya menoleh pada Ardi.

"Besok abang libur kan?"

"Iya."

"Temani aku belanja untuk perlengkapan berangkat ya?"

"Siap."

"Janji yaa.. Kalau aku jauh darimu, jangan melihat perempuan lain."

"Iyaa.. sayang."


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.