Chapter 14: Dilema
"Mama mau bilang apa? Dari tadi hanya diam menatapku??" pertanyaan Trisya membuyarkan lamunan Ariana. "Jika tidak ada yang mau dibicarakan aku mau tidur!"
"Sya.. Jangan begitu. Saat bicara dengan mama turunkan nada suaramu," tegur Ardi yang duduk di ruang tamu.
"Iyaa.."
Trisya meraih tasnya.
"Aku pulang saja," pamit Trisya.
"Tidurlah disini. Mama ingin bicara denganmu."
"Mama saja yang ke rumah. Pamitkan sama papa ya?" Trisya berjalan ke ruang tamu. "Ayo, bang.."
"Pamit, Ma.."
"Titip Trisya ya, Di.."
"Iya, Ma.." Ardi menggandeng Trisya keluar.
"Jangan kembali ke masa lalu lagi ya nak.. " batin Ariana.
Mereka tiba di rumah pukul 10 malam. Trisya langsung melepaskan dress yang ia pakai dan berbaring di tempat tidur.
"Tolong nyalakan AC, bang.." pinta Trisya. "Gerah sekali."
Ardi menyalakan AC, ia menoleh pada Trisya yang telungkup di atas tempat tidur sambil geleng-geleng kepala. Dibukanya lemari dan meraih gaun tidur. Di letakkannya di sisi Trisya.
"Nanti masuk angin.." ia meletakkan handphone di atas meja.
"Takut aku masuk angin atau takut tergoda melihatku cuma pakai pakaian dalam?" ejek Trisya. "Kan sudah halal, bang? Kenapa takut tergoda melihatku seperti ini?"
"Otakmu ini.." Ardi menjentik dahi Trisya.
"Aduh.. Eh, abang mau kemana?"
"Keluar.."
"Mau kemana lagi malam-malam? Masa mau penangkapan?"
"Di teras saja.."
"Jangan merokok bang, janjinya kalau di rumah tidak merokok."
"Kan diluar, sayang.."
"Tidak. Disini saja!" Trisya menarik lengan Ardi. "Temani aku nonton TV."
Ardi menghela nafas. Ia duduk di sisi tempat tidur.
Trisya tersenyum sambil memeluk Ardi dan merebahkan kepalanya di bahu lelaki itu.
"Bang.."
"Hmm.."
"Kalau aku batalkan saja keberangkatanku bagaimana?"
"Kenapa?"
"Masa aku jauh darimu?"
"Kan tidak apa-apa. Bisa video call setiap hari?"
"Tapi kan tidak bisa tidur memelukmu seperti ini?" Trisya mengelus dada Ardi.
Ardi memandang Trisya. Ia mengelus punggung Trisya.
"Yaa.. Terserah kamu."
"Ish.. Abang ini tidak sayang istri. Katanya kalau sudah dinikahi ya harus cinta, harus sayang," Trisya merengut.
"Loh, kan itu impian kamu. Sayang istri ya harus mendukung impiannya."
"Tapi aku kan hamil anakmu? Kalau aku pergi sejauh itu, nanti aku lahiran tidak ditemani. Kau tidak ingin melihat dan menggendong anakmu saat dia hadir ke dunia?"
"Ya sudah, tidak usah berangkat."
"Kau ini plin plan, bang."
"Terserahlah.."
Trisya tersenyum.
"Bang.." panggil Trisya.
"Apalagi?"
"Beliin martabak.."
"Sudah malam, sayang."
"Aku pengen.. Ayolah bang. Kan deket, pake motor gak nyampe 5 menit."
"Nunggunya lama. Besok saja."
"Memangnya kalau beli besok nunggunya gak lama? Abang ini tidak mau mengikuti permintaan istri yang lagi ngidam."
"Mitos."
"Ayolah, bang.. Kau ini dari sebelum nikah sampai hari ini kenapa suka sekali membuatku kesal?" rengek Trisya.
"Sebentar lagi ya, sayang?"
Ardi mengalihkan chanel.
"Eh, jangan ditukar channelnya, bang.. Sebentar lagi drama yang aku tonton mulai."
"Iyaa.." Ardi meraih handphonenya yang berdering.
"Hallo, Za.. Di rumah. Kenapa?" tanya Ardi sambil menyingkirkan tangan Trisya yang mengelus-elus pahanya. "Wah, harus tanya nyonya dulu. Nanti aku datang kalau dikasih izin ya? Haha.. yach, bagaimana? Dulu masih sendiri, sekarang sudah ada orang rumah. Ok, nanti kalau bisa aku langsung meluncur."
Ardi meletakkan handphonenya. Memandang Trisya yang terlihat serius menonton TV.
"Yang."
"Apa?"
"Abang keluar sebentar ya?"
"Kemana?" tanya Trisya.
"Ada teman yang datang. Mereka mengajak kumpul di cafe."
"Tadi diminta beli martabak katanya capek. Giliran teman ngajak ngumpul langsung mau jalan," Trisya merengut.
"Iya, abang beliin, habis itu abang jalan ya?"
"Tidak boleh," Trisya memeluk pinggang Ardi.
"Sebentar saja, sayang.."
Trisya tak menjawab.
"Yang.." panggil Ardi.
Trisya mencium lelaki itu sembari memeluknya.
"Pilih mana.. Keluar berkumpul dengan teman-teman atau bergelut denganku sampai capek?"
Ardi tertawa.
"Kok tertawa?"
"Pilihannya itu loh.."
"Aku sudah siap, bang.." Trisya mengedipkan mata.
Ardi menepuk pinggul Trisya sebelum meraih handphonenya untuk menghubungi Reza.
"Za.. Aku tidak bisa ikut. Next time saja ya? Istri sedang tidak bisa ditinggal. Ok, Salam dengan yang lain."
Ardi meletakkan handphonenya dan menoleh pada Trisya sambil tersenyum.
"Astaga.. Tawaran yang salah. Otakmu ternyata mesum sekali, bang.." Trisya menarik selimut menutupi tubuhnya.
Ardi menarik Trisya ke pelukannya.
"Istri sedang menggoda masak dilewatkan?" Ia membelai wajah Trisya.
"Tidak mau... Semalam kan sudah?" Trisya mendorong bahu Ardi.
"Siapa yang mulai?" Ardi mendekap tubuh Trisya dan mencium bibirnya.
"Aku hamil.."
"Kan tidak ada larangan berhubungan dengan istri yang sedang hamil?"
"Tidak mau.. Aku capek."
"Sebentar saja."
"Besok saja," Trisya menarik selimut menutup tubuh hingga wajahnya.
Ardi menyingkap selimut yang menutup wajah Trisya.
"Kenapa harus tunggu besok, sayang?"
"Martabaknya juga besok kan?"
"Ayolah, sayang."
"Ih.. Abang ini."
Ardi tertawa sambil melepaskan pelukannya.
"Istirahatlah.. Abang keluar sebentar."
"Kemana?"
"Tadi katanya mau martabak," Ardi meraih kunci motor.
"Variannya capucino ya bang.."
"Iyaa.. Pakaiannya dipakai!"
"Iyaa.. Terima kasih, sayang."
Ardi melambaikan tangan sambil berjalan keluar.
Trisya tersenyum. Ia meraih handphonenya yang berdering.
"Mama?"
Trisya menghela nafas sebelum menerima telpon.
"Hallo.."
"Sudah di rumah, Sya?"
"Sudah, kenapa?"
"Tidak apa-apa."
"Kenapa? Kau masih khawatir kalau aku akan menggoda suamimu? Bodoh sekali aku kalau bertahan menjadi milik papa sedangkan ada lelaki baik yang menerimaku apa adanya sebagai suamiku?"
"Anak itu.. benar anaknya Ardi?" tanya Ariana. Kamu dan Richard tidak sedang membuat sebuah cerita untuk menutupi kesalahan ķalian kan? Jika benar ini semua untuk menutupi dosa kalian.. Apa kalian tidak merasa sudah begitu jahat pada Ardi? Dia punya masa depan yang baik jika tidak kalian hancurkan."
"KAU INI KENAPA? Kau ingin aku test DNA untuk memastikan siapa ayah anak ini?? Pasti aku lakukan! PUAS??"
Trisya menutup telpon.
"Dasar ibu toxic!"
***
Pagi itu..
"Tadi malam bukannya kamu meminta Trisya tidur disini?" tanya Richard.
"Ya.. Tapi dia pulang."
"Kalian bertengkar?"
"Tidak. Anak itu saja yang tiba-tiba marah hanya karena aku belum memulai pembicaraan. Akhlaknya memang sangat buruk."
"Akhlak buruk anak berawal dari salah didiknya orangtua," Richard mengingatkan.
"Kau sendiri kenapa tidak turun ketika dia datang bersama suaminya? Tidak sanggup melihat wajah bahagianya?" tanya Ariana.
Richard tak menjawab.
Ia berjalan keluar.
"Bagaimana aku bisa membiarkanmu tetap hidup, Richard?" keluh Ariana.
Richard tiba di kantor beberapa saat kemudian. Melihat Ardi yang sepertinya sedang bicara di telpon dengan Trisya.
"Tidak bisa, sayang.. Abang siang ini banyak berkas yang harus diselesaikan. Iyaa.. Tidak janji ya? Sudah abang mau kerja, jangan telpon lagi ya? Ok, siap.."
Ardi meletakkan handphone di meja.
"Sekarang sayang-sayang.. 2 bulan yang lalu masih adu debat tak mau kalah," ejek Andika.
Ardi tertawa.
"Tidak mengaku pula kalau memang pacaran dengan anak pak Richard," ejek Tari.
Ardi memandang Richard yang berdiri di depan pintu.
"Pak.." sapa Ardi.
"Antar berkas ke ruangan," Richard melangkah masuk ke ruangannya.
"Wajahnya kenapa dingin sekali?" tanya Tari. "Dia tidak suka dengan pernikahanmu dan Trisya, Di?" tanya Tari.
"Gimana bisa terima, kalau yang dinikahi Ardi adalah perempuan yang dia cintai?" celetuk Andika.
"Apa kamu bilang, Dik?" tanya Tari.
"Yaa.. Maksudku, mungkin bapak belum rela kalau anak perempuannya nikah," ucap Andika. "Apa lagi hamil sebelum nikah. Ya kan, Di?"
Ardi tersenyum tipis.
"Yang penting bertanggungjawab ya, Di.." ucap Tari.
"Aku ke dalam kak.." Ardi meninggalkan ruangan itu.
"Ya.."
Ardi mengetuk pintu ruangan Richard.
"Masuk."
Ardi membuka pintu.
"Pak.." ia menutup pintu sebelum berjalan menghampiri meja Richard. "Ini berkas-berkasnya."
"Duduklah.."
Ardi duduk di hadapan Richard.
"Trisya tadi menelpon saya. Katanya membatalkan niatnya untuk study di Inggris. Kamu yang memintanya?"
"Tidak.."
"Ia mengembalikan kunci rumah dan mobil yang saya berikan padanya. Juga mentransfer balik uang yang saya berikan untuk studynya di Inggris."