Chapter 15: Elizabet
"Bu Trisya.." pak Edo menghampiri Trisya.
"Ada apa pak?"
"Boleh ngobrol sebentar di coffee shop?"
"Wah.. suami saya nanti marah, pak.. Dia sedang menjemput saya."
"Sebentar saja.. Kan bisa sambil nunggu suaminya datang?"
"Suami saya orangnya cemburuan, pak.. Eh itu dia."
Pak Edo melihat Ardi yang datang menghampiri.
"Lama sekali.." gerutu Trisya.
"Iyaa.. Tadi mau kesini tiba-tiba ada laporan, jadi abang urus laporannya dulu," Ardi menggandeng pinggang Trisya.
"Pak.." sapa Ardi.
Pak Edo tersenyum.
"Pak Edo mau ngajak ngobrol di coffe shop, bang."
"Oh.. Lain waktu saja yuk, Pak.. Kasihan, dari tadi Trisya pasti belum ada istirahat. Lagi hamil gini pastinya gampang capek," ucap Ardi.
"Iya.."
"Permisi pak Edo.." pamit Trisya sambil meninggalkan tempat itu bersama Ardi.
"Langsung pulang? Kamu sudah makan?" tanya Ardi.
"Sedikit, tidak terlalu suka makanan yang dihidangkan di acara tadi."
"Di cafe Rainbow saja. Kan tidak jauh dari sini," Ardi membukakan pintu untuk Trisya agar bisa masuk ke mobil.
"Boleh request mampir di toko busana gak nanti, bang?"
"Ngapain.?"
"Beli baju dong. Kau tidak sadar hasil perbuatanmu ini sudah mulai terlihat? sudah mulai tidak muat pakaianku.."
Ardi melihat perut Trisya dan tertawa.
"Eh iya.."
"Aku merasa seperti badut, bang.." Trisya memandangi perutnya. "Besar sekali perutku."
"Tidak apa-apa.. Kamu tetap cantik kok, sayang.."
"Seperti menelan semangka.." Trisya mengelus perutnya. "Kenapa denganmu bisa langsung jadi ya bang? Apa karena cairan dari lelaki muda yang energik?"
Ardi tertawa.
"Ntahlah.. Mungkin begitu Allah mentakdirkan kita."
Mobil itu dihentikan Ardi di parkiran Cafe.
"Ayo.." ia membukakan pintu untuk Trisya. "Pelan-pelan."
Trisya turun di bantu Ardi.
"Ayo.." Ardi merangkul pinggang Trisya berjalan memasuki cafe.
Beberapa saat kemudian..
"Kamu mengembalikan rumah dan mobil yang diberikan papa?"
"Ya.. juga uang yang ia berikan untuk biaya hidupku di inggris."
"Kenapa?"
"Aku sudah punya rumah dan mobil sendiri. Meski itu harta suamiku. Soal uang itu.. Aku membatalkan niatku study."
"Kenapa dibatalkan?"
"Tidak ingin jauh darimu. Aku sedang memasuki babak baru kehidupan. Masa harus ditinggalkan untuk mengejar impian yang bisa kucoba lagi di tahun tahun berikutnya. Siapa tahu bisa study bersamamu.."
Ardi tersenyum sambil menggenggam jari Trisya.
"Katamu.. Kalau sudah menikah, walaupun awalnya tidak didasari cinta.. Setelah hidup dalam satu atap harus bisa saling mencintai kan?"
"Ya.. Makanlah, setelah ini kita berbelanja kebutuhanmu."
"Boleh minta disuapi?" tanya Trisya.
Ardi mengelus kepala Trisya.
"Ya.."
" Terimakasih ya bang.. Sudah menerimaku apa adanya," bisik Trisya.
"Jangan ngomong lagi. Habiskan makannya."
"Ya.."
"Ardi, Trisya.." sapa Robby.
Trisya dan Ardi menoleh. Robby menghampiri bersama Elizabet, calon istrinya.
"Robby.."sapa Ardi.
"Kebetulan bertemu disini. Yang, mana undangan tadi?" tanya Robby.
Elizabet seorang wanita keturunan Tionghoa. Ia dan Robby sudah berteman sejak SMA. Hubungan mereka mulai selangkah lebih naik ketika hubungan Robby dan Trisya berakhir. Wajah perempuan yang bekerja di sebuah bank swasta itu cantik dengan ditunjang bentuk tubuh yang sangat enak untuk dilihat. Apalagi saat tersenyum. Elizabet mengeluarkan undangan dari dalam tas.
"Jangan sampai tidak datang minggu depan ya?" ucap Robby.
"Insha Allah.." Ardi memberikan undangan itu pada Trisya yang langsung menyimpannya dalam tas.
"Duduklah.." kata Ardi.
"Tidak apa-apa?" Robby memandang Trisya.
"Jangan sungkan.." jawab Ardi.
Elizabet menatap Trisya. Teringat pertemuan pertamanya dengan Trisya. Saat itu Trisya masih tinggal di kontrakan dekat rumahnya. Ia juga masih menjadi pacar Robby.
Saat itu Trisya dan Robby berencana pergi entah kemana.
Trisya menggandeng Robby keluar dari rumahnya.
"Robby.." sapa Elizabet.
"Hai.. lizzie"
"Aku sering melihat motormu terparkir disini, tapi tak pernah melihatmu.."
"Bagaimana kamu yakin kalau itu motorku?"
"Aku hapal nomor plat mu," Elizabet tertawa. "Jadi tidak tinggal di perumahan Garden lagi?"
"Masih.."
"Ini siapa?" Elizabet memandang Trisya.
"Yang tinggal di rumah ini".
"Pacarmu?" tebak Elizabet setelah melihat lengan Trisya yang merangkul lengan Robby.
"Iya.."
"Oh, aku tidak tahu kalau rumah ini sudah ada yang tinggal.. Soalnya pintunya selalu tertutup," cerita Elizabet. "Hai, aku Lizzie.. Big fans Robby, haha.. Kamu?"
"Trisya.." jawab Trisya datar.
"Kamu cantik sekali.."
"Terimakasih.. Yang, handphone ku ketinggalan".
Trisya meninggalkan Robby dan Elizabet.
"Dia tak suka aku?"
"Bukan.. Mungkin mood Trisya belum terlalu baik setelah perdamaian," bisik Robby. "Kami habis ribut."
"Oh.. Kamu punya banyak penggemar yang akan patah hati dengan memproklamasikan siapa pacarmu".
Robby tertawa.
"Penggemar apa?"
"Tapi aku pikir kamu itu pacarnya.. Renata.."
"Renata?"
"Ya, kalian sangat dekat. Banyak juga yang mengira kalian pacaran".
"Trisya sahabatnya Rena sejak anak-anak".
"Benarkah? Tapi.. sebentar, wajahnya Trisya rasanya tak asing bagiku".
"Kita pergi?" tanya Trisya yang datang menghampiri.
"Ok.."
Elizabet memandang Trisya.
"Apa kita pernah bertemu?"
"Tidak".
"Tapi wajahmu sepertinya tidak asing. Seperti pernah mengenalmu".
"Mungkin mirip".
"Kamu pernah di Jepang?"
"Ya.."
"Part time di sebuah cafe.. Ah, aku lupa".
"Maaf, kami mau pergi.." ucap Trisya.
"Eh iya.."
Elizabet melambaikan tangan pada Robby dan Trisya.
"Aku penasaran.. dimana pernah melihat dia?"
"Lizzie?"
Elizabet menoleh.
"Rena.. apa khabar? lama tak melihatmu."
Renata adalah teman Elizabet semasa SMA yang juga adalah sahabatnya Trisya semasa anak-anak.
"Baik.. Kamu?"
"Aku juga.."
"Kamu kenapa disini?"
"Tadi bertemu Robby. Aku kira dia sudah pindah kesini."
"Bukan, ini tempat tinggal Trisya, pacarnya Robby
"Ya, tadi sudah bertemu. Sudah lama mereka pacaran?"
"Baru.. Trisya juga baru kembali kesini. Sekian tahun tinggal di Malaysia dan Jepang."
"Nah benar kan? Dia pernah di Jepang.. Wajahnya tidak asing. Berarti aku benar, dia pasti part time di cafe yang dikelola oleh teman koko. Tapi dia tidak mengakuinya. Kenapa?"
"Mungkin dia lupa.."
"Siapa tadi namanya?"
"Trisya.. Trisya monica."
"Nah.. Itu dia, Monic. Kami memanggilnya Monic. Dia menghilang dan kami tak lagi tahu kabarnya. ternyata dia pulang ke Indonesia."
"Oya?"
"Bagaimana dia mengenal Robby? Kamu yang mengenalkan? Robby bilang Monic dan kamu berteman sejak anak-anak?"
"Trisya anaknya om Richard dan tante Riana. Kamu kan tahu Robby sangat dekat dengan om Richard."
"I see.. Seingatku dulu Monic dekat dengan om Steven, pamannya ko Andre, teman koko-ku. Aku masih tak mengerti kenapa dia tak mengakui kalau mengenal aku."
"Jangan memanggilnya Monic di depan Robby."
"Kenapa?"
"Mungkin.. Ada yang ingin ia tutupi agar tak diketahui Robby. Kita tak tahu masa lalu seperti apa yang ingin dilupakan Trisya disana."
"Tapi masa mau membohongi Robby kalau sebenarnya dia kenal denganku?" tanya Elizabet.
"Mereka berencana untuk menikah."
"Apa?"
"Tadi kamu bilang Trisya dekat dengan om steven."
"Ya.."
"Sedekat apa?"
"Aku pikir dulu dia akan menikah dengan om Steven."
"Oya?"
"Om steven memberikan dia apartemen mewah, perhiasan yang bagus-bagus."
"Dia sudah menikah atau duda?"
"Sudah menikah dan kaya raya."
"Mungkin.. ada masa lalu bersama om steven yang ingin ia hapus setelah memutuskan bersama Robby.. Om Steven masih ada?"
"Terakhir yang aku tahu sebelum pulang kesini.. Om steven mencari keberadaan Monic."
"Yang.." panggil Robby membuyarkan lamunan elizabet.
"Apa khabar?" sapa Elizabet sambil menjabat tangan Trisya. "Sudah lama tak melihatmu.."