Yuki Aizawa

Chapter 2: Bab 2



 

Waktu berlalu, tahun-tahun berganti. Kenji, yang dulu adalah seorang anak yatim piatu yang terlunta-lunta, kini telah bertransformasi menjadi seorang pemimpin bisnis yang karismatik dan disegani. Di bawah kepemimpinannya yang cerdas dan visioner, Haru Corp berkembang pesat, mencapai puncak kesuksesan dan menjadi perusahaan nomor satu di Jepang.

 

Kenji memiliki gaya kepemimpinan yang unik. Ia tidak terlalu tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar lainnya yang terkesan kaku dan konservatif. Ia justru lebih memilih untuk merangkul perusahaan-perusahaan menengah, memberikan mereka peluang dan dukungan untuk tumbuh bersama.

 

Salah satu mitra utama Kenji adalah Ichiko Aoi, sahabat karibnya sejak SMA. Ichiko memiliki perusahaan di bidang perikanan di Hokkaido. Berkat dukungan dan bimbingan Kenji, perusahaan Ichiko berkembang pesat, mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan besar dan menjadi salah satu pemasok utama produk perikanan di Jepang.

 

"Kau tahu, Kenji," kata Ichiko suatu hari saat mereka sedang bertemu di sebuah restoran di Tokyo, "Aku tidak akan bisa mencapai semua ini tanpa bantuanmu. Kau telah memberiku kesempatan, modal, dan bimbingan yang aku butuhkan."

 

Kenji tersenyum. "Kita adalah sahabat, Ichiko. Sudah seharusnya kita saling mendukung. Lagipula, aku percaya padamu. Kau memiliki semangat dan dedikasi yang tinggi. Aku tahu kau akan sukses."

 

"Terima kasih, Kenji," kata Ichiko dengan tulus. "Kau lebih dari sekadar sahabat. Kau adalah mentor dan inspirasi bagiku."

 

Kenji dan Ichiko bukan hanya berbagi ikatan persahabatan yang kuat, tetapi juga visi yang sama tentang dunia bisnis yang lebih adil dan berkelanjutan. Mereka percaya bahwa kesuksesan sejati bukan hanya diukur dari keuntungan finansial, tetapi juga dari dampak positif yang diberikan kepada masyarakat dan lingkungan.

 

Kehidupan Kenji dipenuhi dengan gemerlap kesuksesan. Ia menjadi bintang baru di dunia bisnis Jepang, dipuji dan dikagumi banyak orang. Namun, di balik semua pencapaiannya, ada satu hal yang masih terasa kosong dalam hidupnya.

 

Suatu malam, di kediaman mewah keluarga Aizawa, Tuan Haru menghampiri Kenji yang sedang duduk termenung di sofa ruang keluarga. "Kau tahu, Kenji," ucap Tuan Haru dengan lembut, "kesuksesanmu tiada arti jika kau masih sendiri."

 

Kata-kata Tuan Haru bagai petir di siang bolong. Kenji tersentak, hatinya berdesir. Ia tahu betul apa yang dimaksud ayahnya. Meskipun telah mencapai puncak karier, Kenji belum juga menemukan pendamping hidup.

 

Kenji memang memiliki kekasih sejak masa SMA, seorang gadis manis bernama Ayame. Mereka bahkan melanjutkan kuliah di universitas yang sama. Ayame berasal dari keluarga sederhana, namun kecantikan hati dan kecerdasannya mampu memikat Kenji.

 

Ayame selalu kagum dengan kepribadian Kenji. Meskipun Kenji adalah anak angkat seorang konglomerat, ia tidak pernah bersikap sombong atau angkuh. Di sekolah, Kenji tidak pernah memamerkan kekayaan atau menonjolkan diri seperti anak orang kaya lainnya. Ia tetap rendah hati, ramah, dan sederhana. Sifat itulah yang membuat Ayame jatuh cinta pada Kenji.

 

"Aku mengerti, Ayah," jawab Kenji dengan suara pelan. "Aku... aku akan memikirkan hal ini dengan serius."

 

Tuan Haru tersenyum. Ia tahu Kenji adalah pemuda yang bijaksana. Ia yakin Kenji akan membuat keputusan yang tepat untuk masa depannya.

 

Sinar mentari pagi yang cerah menembus jendela kamar Yuki, membangunkannya dari tidur yang lelap. Aroma pancake blueberry buatan Kakek Haru menggelitik hidungnya, menambah semangat di pagi hari. Yuki bangkit dari tempat tidur, merapikan selimutnya yang bergambar astronot, dan bergegas turun ke bawah.

 

 

 

Di ruang makan, Tuan Haru telah menyiapkan sarapan di meja kayu panjang dekat jendela. Aroma kopi yang baru diseduh bercampur dengan wangi sirup maple, menciptakan suasana hangat dan nyaman. Yuki, dengan rambutnya yang sedikit berantakan dan piyama bergambar dinosaurus, melompat ke kursi di samping kakeknya.

 

"Selamat pagi, Kakek!" sapanya riang.

 

Tuan Haru menoleh, tersenyum hangat melihat cucunya yang penuh semangat. "Selamat pagi, Yuki. Tidurmu nyenyak?"

 

"Sangat nyenyak, Kakek!" jawab Yuki dengan antusias sambil meraih pancake di depannya.

 

Namun, di balik keceriaan pagi itu, ada pertanyaan yang mengganjal di hati Yuki. Semalam, ia hampir saja menanyakan tentang orang tuanya, tetapi ia urungkan niatnya karena tidak ingin merusak suasana. Kini, ketika ia melihat guratan kelelahan di wajah Tuan Haru, rasa ingin tahunya semakin kuat.

 

"Kakek," panggil Yuki dengan suara lirih saat mereka hampir selesai sarapan, "sebenarnya... apa yang terjadi dengan Ayah dan Ibu?"

 

Tuan Haru menatap Yuki dengan tatapan sendu. Ia mengeluh napas panjang, seolah tengah mengumpulkan kekuatan untuk mengungkapkan kebenaran yang selama ini ia simpan rapat-rapat.

 

"Yuki," ucapnya dengan lembut, "sudah saatnya kau tahu."

 

Ia mulai menceritakan kejadian di hari nahas itu, hari di mana Kenji dan Ayame mengalami kecelakaan pesawat.

 

"Telepon berdering nyaring di pagi hari," kenang Tuan Haru. "Kenji mengangkatnya, dan wajahnya langsung berseri-seri. 'Ichiko, ada kabar baik apa?' tanyanya dengan antusias. Ternyata, istri Ichiko baru saja melahirkan seorang putri."

 

Yuki mendengarkan dengan seksama, matanya berbinar-binar. Ia tidak pernah mengetahui tentang hal ini sebelumnya.

 

"Kakek, siapa Ichiko?" tanya Yuki penasaran.

 

"Ichiko adalah sahabat ayahmu sejak SMA," jawab Tuan Haru. "Dia tinggal di Hokkaido. Saat itu, ayahmu dan ibumu, bersama denganmu yang masih berusia 2 tahun, berencana untuk mengunjungi keluarga Ichiko di Hokkaido untuk merayakan kelahiran putrinya."

 

Tuan Haru tersenyum, seolah mengingat kembali kehangatan hari itu.

 

"Kami tiba di sebuah rumah tradisional Jepang yang asri dengan taman yang dipenuhi bunga warna-warni," lanjutnya. "Keluarga Ichiko menyambut kami dengan hangat. Di sana ada Taro Aoi, ayah Ichiko, seorang pria paruh baya yang bijaksana dengan senyum yang ramah, dan Hibiki Aoi, adik Ichiko, seorang pemuda yang pendiam dengan tatapan mata yang tajam."

 

"Ibumu langsung menghampiri Emi, istri Ichiko, yang sedang menggendong seorang bayi perempuan yang mungil dan cantik."

 

"'Dia sangat cantik, Emi!' puji Ibumu sambil memandangi bayi itu dengan penuh kekaguman. 'Siapa namanya?'"

 

"'Nana Aoi,' jawab Emi dengan senyum bahagia, matanya berbinar-binar melihat putrinya yang tengah tertidur pulas."

 

Yuki membayangkan suasana hangat dan ceria di hari itu. Ia penasaran dengan Nana, gadis yang dijodohkan dengannya. Apakah Nana secantik yang diceritakan kakeknya? Apakah mereka akan akur?

 

Tuan Haru melanjutkan ceritanya. "Saat itu, Taro Aoi, kakek Nana, tiba-tiba mengusulkan agar kau dijodohkan dengan Nana. 'Bagaimana jika cucuku kita jodohkan dengan cucuku?' katanya dengan antusias. Kami semua terkejut, tapi akhirnya setuju. 'Persahabatan antara keluarga kita akan semakin kuat,' ujar Taro Aoi dengan bijak."

 

"Namun," Tuan Haru menatap Yuki dengan serius, "ada satu orang yang tidak senang dengan keputusan itu, yaitu Hibiki, adik Ichiko. Dia selalu iri pada kakaknya dan merasa dibayangi-bayangi oleh kesuksesan Ichiko. Kakek melihat tatapan kebencian di matanya saat itu."

 

Keesokan harinya, saat akan berangkat pulang, Taro Aoi menahan Tuan Haru. "Haru-san," pintanya dengan ramah, "bisakah kau tinggal sehari lagi? Aku ingin bertukar pikiran denganmu tentang seni bela diri."

 

Tuan Haru, yang selalu antusias berbagi ilmu dengan sesama praktisi Tao, menyetujui permintaan Taro Aoi. Kenji, Ayame, dan Yuki pun berpamitan dan naik ke pesawat jet pribadi mereka.

 

"Dan... kau tahu apa yang terjadi selanjutnya," kata Tuan Haru dengan suara berat, wajahnya dipenuhi kesedihan. "Pesawat yang ditumpangi ayah dan ibumu... mengalami kecelakaan."

 

Yuki mendengarkan dengan hati berdebar-debar. Ia kini mengetahui lebih banyak tentang masa lalunya, tentang keluarga Aoi, tentang perjodohannya dengan Nana, dan tentang bayangan gelap yang menyelimuti kecelakaan itu. Ia meremas tangannya, merasa sedih, marah, dan penasaran sekaligus.

 

"Kakek," ucap Yuki tiba-tiba, "apa aku boleh pindah sekolah ke Jepang?"

 

Tuan Haru terkejut. "Ke Jepang? Tapi kenapa, Yuki?"

 

"Aku ingin bertemu Nana," jawab Yuki dengan tatapan berbinar. "Aku ingin tahu seperti apa dia. Dan... aku ingin menyelidiki kecelakaan itu sendiri."

 

Tuan Haru menatap Yuki dengan khawatir. "Yuki, itu terlalu berbahaya. Kau masih terlalu muda."

 

"Aku akan berhati-hati, Kakek," janji Yuki. "Aku akan menjadi orang lain di Jepang. Menyembunyikan identitas asliku."

 

Melihat keseriusan di mata Yuki, Tuan Haru merenung. Ia tahu Yuki berbeda dengan anak seusianya. Yuki telah mewarisi kekuatan Tao dari ayahnya, dan kini telah mencapai tingkat "Alam Terang" di usianya yang masih 10 tahun. Ia memiliki kemampuan untuk merasakan energi, melihat aura, dan bahkan mempengaruhi aliran qi untuk menyembuhkan atau melindungi diri.

 

"Baiklah, Yuki," ucap Tuan Haru akhirnya. "Kakek izinkan kau pergi ke Jepang. Tapi kau harus berjanji untuk selalu berhati-hati dan menghubungi Kakek jika ada sesuatu."

 

Yuki tersenyum lebar. "Terima kasih, Kakek! Aku berjanji akan berhati-hati."

 

Pesawat yang membawa Yuki mendarat dengan mulus di Bandara New Chitose, Hokkaido. Udara dingin menyapa Yuki saat ia melangkah keluar dari pesawat. Pemandangan pegunungan yang diselimuti salju dan pepohonan yang rindang menciptakan suasana yang jauh berbeda dengan Boulder, Colorado.

 

 

 

Yuki merasakan semangat bercampur gugup mengalir di dadanya. Ini adalah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di tanah kelahiran ayahnya, tanah yang menyimpan banyak misteri tentang masa lalunya.

 

 

 

Tuan Haru telah menyiapkan segalanya untuk kepulangan Yuki ke Jepang. Sebuah rumah sederhana tapi nyaman telah disewa di sebuah perumahan tenang tidak jauh dari kediaman keluarga Aoi. Tuan Haru juga telah mengumpulkan informasi lengkap tentang Nana Aoi, mulai dari foto, sekolah, hingga kebiasaan dan kesukaannya.

 

 

 

"Ini adalah alamat rumahmu, Yuki," kata Tuan Haru sambil menyerahkan sebuah kunci dan selembar kertas bertuliskan alamat. "Goro akan menemanimu dan membantumu beradaptasi di sini."

 

 

 

Yuki menerima kunci dan kertas itu dengan senyum semangat. "Terima kasih, Kakek. Aku tidak sabar untuk memulai kehidupan baru di sini."

 

 

 

"Ingat, Yuki," pesan Tuan Haru dengan serius, "kau harus menyembunyikan identitasmu. Jangan biarkan siapa pun tahu bahwa kau adalah cucuku atau bahwa kau memiliki kekuatan Tao. Dan yang terpenting, selalu berhati-hati."

 

 

 

Yuki mengangguk mantap. "Aku mengerti, Kakek."

 

 

 

Setelah berpamitan dengan Tuan Haru, Yuki dan Goro menuju ke rumah baru mereka. Rumah itu terdiri dari dua lantai dengan taman kecil di halaman belakang. Meskipun tidak semewah rumah mereka di Boulder, Yuki merasa nyaman dan bebas di sana.

 

 

 

Keesokan harinya, Yuki dan Goro mencari sekolah untuk Yuki. Yuki sengaja memilih sekolah menengah pertama yang berbeda dengan Nana, tetapi masih berada di wilayah yang sama. Ia ingin mengamati Nana dari jauh terlebih dahulu sebelum mengungkapkan identitasnya.

 

 

 

"Aku tidak mau mencolok, Goro," jelas Yuki. "Aku ingin mengenal Nana sebagai orang biasa, bukan sebagai cucu Tuan Haru atau calon suamiku."

 

Goro mengangguk mengerti. Ia menghormati keputusan Yuki dan akan selalu mendukungnya.

 

Dengan nama samaran "Yuki Sato", Yuki memulai kehidupan barunya di Hokkaido. Ia bersekolah, berteman dengan anak-anak sebayanya, dan diam-diam mengamati Nana Aoi dari kejauhan. Ia penasaran dengan gadis yang dijodohkan dengannya, gadis yang akan menjadi bagian penting dalam hidupnya.

 

Yuki, yang kini duduk di kelas 2 SMP, selalu menyempatkan diri untuk mengamati Nana Aoi, gadis yang dijodohkan dengannya, dari kejauhan. Sekolah mereka memang berdekatan, sehingga Yuki bisa melihat Nana saat berangkat dan pulang sekolah. Nana, yang masih duduk di kelas 6 SD, selalu tampak ceria dan riang. Senyumnya yang manis dan tawa renyahnya seringkali membuat hati Yuki berdesir.

 

Suatu hari, saat pulang sekolah, Yuki melihat Nana dijemput oleh sebuah mobil sedan hitam. Hal ini membuat Yuki merasa aneh. Biasanya, Nana selalu naik jemputan sekolah. Firasat buruk menyergap hati Yuki. Tanpa pikir panjang, ia mengikuti mobil itu dari kejauhan.

 

Mobil itu melaju meninggalkan kawasan sekolah dan menuju ke arah pinggiran kota. Yuki terus membuntuti dengan hati-hati, menjaga jarak agar tidak kepergok. Ia merasakan adrenalin terpacu di dalam dadanya. Ada sesuatu yang tidak beres.

 

Benar saja, mobil itu berhenti di depan sebuah gedung tua yang terbengkalai. Yuki menyembunyikan dirinya di balik semak-semak, mengamati dengan seksama. Ia melihat Nana diseret keluar dari mobil oleh dua orang berbaju hitam. Tangan Nana diikat, mulutnya dilakban. Gadis kecil itu tampak sangat ketakutan.

 

Yuki merasakan amarah membara di dadanya. Ia tidak bisa tinggal diam melihat Nana dalam bahaya. Dengan gerakan lincah dan senyap, ia menyelinap masuk ke dalam gedung tua itu, mengikuti para penculik.

 

Di dalam gedung yang gelap dan berdebu, Yuki melihat Nana dilempar ke dinding oleh salah satu penculik. Gadis kecil itu tersungkur, bahunya terbentur keras. Yuki mengepalkan tangannya, siap bertindak.

 

Saat salah satu penculik mengeluarkan pistol dan mengarahkannya ke Nana, Yuki melompat dari persembunyiannya. Dengan tendangan kilat, ia menjatuhkan penculik yang memegang pistol. Penculik lainnya terkejut, namun segera menyerang Yuki.

 

Yuki, meski bertubuh kecil, bergerak dengan gesit dan terampil. Ia menghindari serangan para penculik dan membalas dengan pukulan dan tendangan yang tepat sasaran. Dalam waktu singkat, ia berhasil melumpuhkan kedua penculik itu.

 

Yuki segera membebaskan Nana dari ikatan dan lakban. "Tenang saja, aku akan melindungimu," kata Yuki dengan suara tenang yang menenangkan Nana. "Namaku Yuki."

 

Nana menatap Yuki dengan mata berkaca-kaca, lalu memeluknya erat. "Terima kasih," ucapnya lirih. "Aku Nana."

 

Yuki membalas pelukan Nana, merasakan detak jantungnya berdetak kencang. Ia tidak menyangka akan bertemu Nana dalam situasi seperti ini.

 

Mereka berlari keluar dari gedung tua itu dan menyembunyikan diri di hutan di belakang gedung. Para penculik mengejar mereka, tetapi Yuki dan Nana berhasil meloloskan diri dan bersembunyi di antara pepohonan yang lebat.

 

Berjam-jam mereka bersembunyi di hutan, sambil berkenalan dan berbagi cerita. Nana menceritakan tentang kehidupannya, tentang sekolahnya, dan tentang keluarganya. Yuki mendengarkan dengan seksama, sesekali menjawab pertanyaan Nana dengan hati-hati. Ia masih menyembunyikan identitas aslinya sebagai Yuki Aizawa, cucu Tuan Haru dan calon suami Nana.

 

Setelah dirasa aman, Yuki membawa Nana keluar dari hutan. Mereka menemukan sebuah rumah kecil di pinggir jalan dan meminjam telepon untuk menghubungi orang tua Nana. Yuki meminta Nana untuk menceritakan tentang penculikan itu kepada ayahnya.

 

Sambil menunggu jemputan, Nana menatap Yuki dengan tatapan penuh terima kasih. "Yuki, aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku jika kau tidak menolongku," ucapnya dengan suara bergetar. "Terima kasih banyak."

 

Yuki tersenyum. "Sama-sama, Nana. Aku senang bisa membantumu."

 

Nana ingin mengucapkan lebih banyak kata terima kasih, tetapi ia terlalu malu. Ia menundukkan kepalanya, pipinya memerah. Melihat Nana yang tampak ragu, Yuki mengeluarkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk separuh hati dari sakunya.

 

"Ini untukmu," kata Yuki sambil mengalungkan kalung itu ke leher Nana. "Simpan ini. Aku akan kembali untukmu."

 

Nana menerima kalung itu dengan bingung. Sebelum ia sempat bertanya, sebuah konvoi mobil mewah tiba-tiba muncul di depan mereka. Yuki tahu, itu pasti orang tua Nana.

 

Kedua orang tua Nana turun dari mobil dengan wajah penuh kecemasan. Emi langsung memeluk Nana erat, menangis tersedu-sedu. "Nana, syukurlah kau selamat!"

 

Nana membalas pelukan ibunya, lalu menoleh ke arah Yuki, ingin mengenalkan penyelamatnya. Namun, Yuki telah menghilang. Ia lenyap secepat kilat, meninggalkan Nana dengan sejuta pertanyaan di benaknya.

 

 

 


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.