Chapter 10: Malam penuh Noda
"Pak Richard sudah datang, Dik?" tanya taufan.
"Di ruangan, sedang bicara dengan Bayu."
Taufan memandang meja Ardi yang kosong.
"Ardi mana?"
"Tadi keluar.."
"Ardi mau nikah ya?" tanya Taufan.
"Hah? Kata siapa?"
"Kudengar pacaran sama anak pak Richard."
"Aku malah tidak tahu."
Bayu keluar dari ruangan.
"Bang Ardi mana, bang?"
"Keluar.. kenapa?"
"Dipanggil bapak."
"Oh, aku telpon dulu," kata Dika. "Kau mau ketemu pak Richard, Taufan?"
"Sebentar saja.."
"Masuklah, nanti dia mau keluar."
"Ok.."
Taufan mengetuk pintu sebelum masuk.
Richard menoleh.
"Taufan..? Duduklah."
"Mengganggu waktu sebentar pak.." Taufan duduk di hadapan Richard.
"Ada apa?"
"Ini, saya bawa madu hasil ternak sendiri.. Siapa tahu bapak suka, nanti bisa order ke saya."
Richard tersenyum.
"Sudah panen?"
"Belum banyak pak."
"Ok, terimakasih.. Berapa ini?" tanya Richard.
"Buat pak Richard saja dulu.. Nanti kalau cocok, boleh WA saya untuk pemesanan," taufan tertawa. "Terimakasih, Pak.. waktu itu bapak yang modali saya untuk ternak lebah."
Richard tersenyum.
"Kebetulan ada dananya."
"Saya tahu, bapak banyak bantuin orang yang kesulitan.."
"Tidak boleh disebut, nanti tidak jadi pahala di akhirat."
Pintu ruangan itu diketuk.
"Masuk.."
Ardi membuka pintu dan melangkah masuk.
"Izin pak, bu Lina ingin ketemu. Sejak kemarin dia bolak balik kesini ingin bicara sama bapak."
"Suruh besok saja kesini.. Saya sudah ada janji hari ini keluar."
"Siap, Pak.."
"Oya, nanti kamu ikut saya keluar."
"Siap."
Ardi hendak keluar, namun ia berbalik lagi.
Ardi menarik nafas.
"Izin, Pak.. hari jumat saya tidak masuk, persiapan lamaran."
"Lamaran? Oh.. Sudah punya calon?" tanya Richard.
"Siap, sudah Pak.."
"Kerja atau jangan jangan masih mahasiswa?"
"Dosen di universitas Pariwisata Pak.."
"Oya? Sama dengan Trisya? Siapa? Mungkin Trisya kenal."
"Siap, putrinya bapak..."
Richard terdiam sesaat.
"Maksudmu.. Trisya?"
"Siap, benar Pak."
"Ok. Jika tidak ada lagi, kamu boleh keluar.." kata Richard.
"Siap.."
Taufan memandang Richard.
"Bapak tidak tahu kalau mereka punya hubungan?" tanya Taufan.
Richard menggeleng.
"Sebentar.."
Richard menghubungi nomor handphone Trisya.
"Hallo, Pa.."
"Kamu dimana?"
"Masih di kampus, kenapa?"
"Pulang jam berapa?"
"Belum tahu, Pa.. Mau mengikuti seminar jam 4 sore nanti, kalau di undangan waktunya sampai jam 9 malam."
"Ardi katanya mau melamarmu?"
"Hah? Dia bilang ke papa?"
"Nanti malam, sepulang dari seminar langsung pulang! Kita bicara di rumah!"
"Siap, pak!"
Richard menutup telpon, memandang Taufan yang tersenyum.
"Saya pamit, pak.. Jangan lupa, next boleh diorder ya pak madunya," kata Taufan.
"Ok."
"Bantu promosi juga ya pak.. Boleh minta tolong Trisya juga pak? Promosi ke kampus?"
"Nanti saya bicarakan."
"Permisi, pak.." pamit Taufan sambil segera keluar.
Ia melihat Ardi yang sedang mengetik di depan laptop.
"Kau membuat komandanmu jantungan," kata Taufan sambil duduk di hadapan Ardi.
"Memangnya Ardi kenapa?" tanya Tari.
"Dia nekat bilang mau melamar Trisya, kak."
Dika yang sedang minum terkejut.
"Serius kau, Ardi?" tanya Dika.
Richard keluar dari ruangan.
"Ardi, ayo.."
"Siap.." Ardi bergegas mengikuti Richard.
"Masa kau tidak tahu, Dik? Kalian kan selalu berdua?" tanya Taufan.
"Kan tahu sendiri kalau Ardi tak banyak bicara.."
"Trisya bulan depan mau study ke Inggris, Waktu itu bicara dengan pak Richard. Mungkin karena itu Ardi mau melamar. Diikat pertunangan dulu biar gak digaet sama bule," kata Tari.
"Bukan karena isi kan?" Taufan tertawa.
"Astaga, kau ini mengerikan sekali tudinganmu," ucap Dika. "Pria baik baik dia itu. Mana mungkin punya pikiran mesum.."
"Kau tak ingat waktu Trisya keceplosan bilang, baju kaosmu di rumahku.. Gimana ceritanya baju kaos Ardi bisa di rumah Trisya?"
"Sudah, jangan ghibah," tegur Tari.
"Masalahnya tidak sengaja waktu sedang makan malam di sebuah cafe, salah satu anggota team melihat Trisya muntah-muntah, dibantu seorang cleaning servis. CS itu bilang, sepertinya Trisya sedang hamil."
Tari merenung. Teringat ucapan Ardi malam itu.
"Trisya hamil, kak.."
"Sudah, jangan bergunjing, " ucap Tari.
***
"Bu Trisya.." seorang pria menghampiri Trisya yang berjalan di lobby hotel.
Trisya menoleh.
"Pak Edo.." Trisya tersenyum.
"Boleh minta nomor handphonenya?" tanya lelaki usia kisaran 55 tahun yang dipanggil Trisya dengan sebutan pak Edo.
"Oh, tentu saja.."
"Berapa?" tanya pak Edo.
"08..." Trisya menyebutkan nomor handphonenya.
"Ok saya save.. itu nomor saya ya bu."
"Baik.."
"Kapan ibu ada waktu?"
"Untuk?.. Sebentar pak, saya angkat telpon dulu."
"Silakan.."
"Hallo, bang.. Aku masih di lobby. Hujan? Oh, Ok.. Aku tunggu di lobby."
"Maaf.. Tadi maksudnya ada waktu, untuk apa ya?" tanya Trisya.
"Saya ingin mengajak ibu bergabung di kampus kami.." jelas Pak Edo. "Saya suka dengan cara bu Trisya menjelaskan tadi waktu di seminar."
"Wah, saya tidak bisa.."
"Jadwal mengajar kan bisa diatur bu?"
"Saya bulan depan mau study ke inggris."
"Bisa via online kan bu mengajarnya? Eh, kita ngobrol di cafe saja bagaimana?"
"Wah, saya harus langsung pulang Pak.."
"Sebentar saja."
"Papa saya galak, pak."
"Trisya.." panggil Ardi.
Trisya menoleh.
"Nah, saya sudah dijemput. Permisi, pak Edo.."
"Lain kali saya telpon biar bisa ngobrol lagi ya bu?"
Ardi menghampiri.
"Masih lama?"
"Permisi, Pak.." pamit Trisya sambil menggandeng lengan Ardi agar segera meninggalkan tempat itu.
"Banyak sekali akalnya untuk bisa duduk berdua ngobrol," dengus Trisya.
"Siapa?" tanya Ardi.
"Direktur kampusnya orang-orang kaya.. Sudah kubilang tidak bisa bergabung masih memaksa.. Malah ngajak ngobrol di cafe.. Tua bangka! Kelihatan sekali otaknya mesum."
"Hei, tidak boleh memaki orang," tegur Ardi.
"Abang tidak bawa payung? hujannya deras."
Ardi membuka jacketnya.
"Ayo.." ia menutupi kepala Trisya dengan Jacket.
"Nanti abang kena hujan.."
"Cepat saja..!" Ardi menarik Trisya berlari menuju mobil.
"Kan abang jadi basah.." Trisya melepaskan jacket dari Ardi.
"Tidak apa-apa," kata Ardi."Letakkan saja jacket itu di belakang."
Trisya memandang Ardi.
"Tumben kau baik sekali hari ini, bang? Biasanya kau selalu marah padaku".
"Kamu hari ini belum melakukan hal yang menyebalkan."
"Kenapa tiba-tiba menjemputku?"
"Ada yang ingin kukatakan."
"Aku sudah tahu.. Papa tadi menelponku memintaku untuk bicara tentang niatmu yang ingin datang melamarku. Tadinya papa minta aku ke rumah untuk bicara dengan mama dan papa. Tapi karena aku belum pulang, papa menelponku dan berkata.. Aku tidak boleh menerima ajakan menikahmu. Tidak boleh menyulitkanmu. Dengan pergi melanjutkan study ke Inggris bulan depan, tidak akan ada yang tahu kalau aku hamil dan melahirkan di Inggris."
Ardi memghentikan mobilnya.
"Papa bilang apa padamu, bang?" tanya Trisya.
"Tidak ada.. Hanya tadi sewaktu kami pulang ke kantor, dia bilang ingin bicara dengan kita."
"Dia pasti marah.. Kau kenapa tidak bicara padaku dulu, bang.. sebelum bertemu papa?"
Ardi tak menjawab.
"Kau kan tahu bagaimana papa kalau marah, bang??"
"Tidak apa-apa."
"Kenapa tiba-tiba kau bicara pada papa? padahal sebelumnya kau terlihat tak serius, hanya sekedar omongan agar Robby tak membawaku lari."
"Terlintas begitu saja."
"Bohong."
"Kalau begitu.. Anggap saja aku tak bisa berhenti memikirkanmu sejak kau menggigit tanganku.."
"Hah?"
Ardi tertawa.
"Sudahlah, banyak sekali pertanyaanmu."
"Ya karena ini aneh.. Kenapa tiba-tiba? Ah sudahlah. Lagi pula papa sudah memutuskan agar aku berangkat ke Inggris. Papa bilang mau mengantarku ke singapore minggu depan, dia bilang sampai keberangkatanku ke inggris, aku akan tinggal disana.."
"Lalu kamu akan melahirkan anak itu disana dan membesarkannya hingga study kamu selesai?"
"Ya.."
"Pulang dengan membawanya?"
Trisya mengangguk.
"Lalu statusnya nanti apa?"
"Anak adopsi papa."
Ardi tertawa.
"Orang berkuasa memang pintar mencari jalan tanpa sedikitpun merusak namanya."
Trisya memandang Ardi.
"Lalu statusmu sendiri apa? Tetap menjadi simpanan bapak?" tanya Ardi.
"Sudah berapa kali kukatakan, aku bukan simpanan papa!"
"Lalu apa? Anaknya? Aneh kamu ini! Anak tidak ditiduri, Trisya!"
"Tapi dia mencintaiku!"
"Cinta tidak seperti itu, Trisya!"
Trisya terdiam.
"Secinta itu kamu padanya?" tanya Ardi.
"Ini bukan masalah cinta atau tidak.."
"Sudahlah, aku tidak mengerti jalan pikiranmu!"
"Kenapa abang jadi marah?"
"Anggap saja aku mencintaimu!" tukas Ardi kesal. "Entah apa yang ada dalam pikiranmu itu!"
Trisya merengut.
"Ayo pulang! Besok aku akan datang melamarmu pada orangtuamu."
"Nanti kau kena masalah, bang. Tidak usah.."
"Tidak apa-apa."
"Ok, kau mungkin siap. Tapi aku pasti jadi sasaran amarah papa!"
"Lalu kau pasrah saja hanya karena dia merayumu dengan kata-kata mencintaimu? Kau mau jadi apa?"
"Kenapa kau jadi begitu marah?" Trisya menatap Ardi tajam.
"Kau.." Ardi membalas tatapan Trisya.
Tiba- tiba ia memegang tengkuk Trisya.
"Kau mau apa?" tanya Trisya
Ardi mendaratkan ciuman di bibir Trisya, membuat Trisya terperangah.
Trisya meronta, tapi Ardi tak melepaskan ciumannya. Semakin kuat ia mencoba mendorong Ardi, semakin lelaki itu tak mau melepaskan, justru semakin melumat bibir wanita itu.
Hingga akhirnya Trisya pasrah, membiarkan Ardi menuntaskan semuanya.
Ardi melepaskannya ciumannya.
"Kau gila!" Trisya mengusap bibirnya dengan kesal. "Kurang ajar sekali padaku! Kau pikir karena aku berpindah-pindah lelaki.. Aku bisa seenaknya kau cium?"
"Aku yang sudah membuatmu hamil.." ucap Ardi akhirnya.
"Apa?"
"2 bulan yang lalu.. Aku menidurimu," ungkap Ardi. "Malam itu kamu pulang sudah jam 1 dini hari. Bapak sedang ke Manado. Ingat tidak, waktu itu bapak cuti 2 minggu karena ibunya sakit. Malam itu.. Tidak tahu siapa yang mengantarmu pulang, tapi kamu bilang kepalamu sakit sekali. Kamu nyaris jatuh sehingga kuputuskan untuk menggendongmu ke kamar, tapi saat kuletakkan di tempat tidur tiba-tiba kamu memelukku.."
"Kenapa dunia ini selalu bercanda padaku?" tanya Trisya. "Aku kira pulang akan membuat hidupku lebih baik. Ternyata aku salah. Perempuan itu masih disini dan dia akan selalu membuat duniaku seperti dalam neraka. Dia tak pernah berubah. Selalu menyakitiku sejak aku masih anak-anak."
Ardi mengusap punggung Trisya.
"Padahal aku pulang untuk menemui mama dengan harapan semua sudah berubah. Aku lelah terus hidup dalam kemarahan. Aku lelah berpindah-pindah hati. Aku lelah hidup dan memecahkan masalahku sendiri. Mereka yang bisa membuat aku lupa betapa sakitnya hidup ini punya mama yang toxic, tak cukup membuatku bahagia."
"Istirahatlah.."
"Sudah banyak kulakukan hal bodoh, tapi ia tak juga bergerak untuk melihatku! Dia bahkan hanya bisa marah dan membiarkan aku menjadi peliharaan papa!"
Ardi melepaskan pelukan Trisya.
"Sebaiknya istirahat saja. Sudah malam. Kalau bapak tahu kamu keluar malam sendirian, bukan kamu yang dimarahi. Tapi kami semua."
"Dia itu memang bisanya marah saja."
"Tidurlah, jika ada keperluan yang mengharuskan keluar, panggil saja saya nanti."
"Disini saja," Trisya menarik tangan Ardi.
Ardi memandang Trisya. Wanita itu tiba-tiba langsung menghambur kepelukannya.
"Kau berani tidak melarikan aku dari sini?" bisik Trisya.
"Apa?"
"Aku tahu kau sering melihatku," Trisya menatap Ardi.
"Aku?"
"Jangan hanya mencuri-curi untuk melihat saja. Kau boleh kok memilikiku.."
"Kamu?"
"Dunia tidak akan kiamat hanya karena satu kesalahan yang kau lakukan malam ini." bisik Trisya di telinga Ardi.