Cinta di tengah badai

Chapter 9: Pengakuan Ardi



Trisya terdiam.

"Mulutmu sadis sekali, bang.." ucap Trisya lirih, suaranya tertahan.

"Saat kamu bicara kasar pada orang lain apa kamu tidak sadar kalau mulutmu juga sadis?" tanya Ardi.

Ardi menghentikan mobilnya. Ia memandang Trisya.

"Aku bukan orang yang sabar dan mau mengikuti mau kamu seperti yang dilakukan Robby! Aku juga bukan Dika yang tak berani menegur sikapmu meski dirasanya salah! Dan aku bukan pak Richard yang akan membujukmu saat kau menangis setelah ia marahi!"

Trisya membalas tatapan Ardi. Wajahnya merah menahan marah.

"Kau bukan siapa siapa! Tidak punya hak memarahiku! Apalagi membentakku!"

"Aku orang yang akan menikahimu, agar bisa mendidikmu jadi orang yang lebih baik!"

"Apa katamu?" tanya Trisya.

"Kamu tidak tuli, Trisya! Kamu bisa mendengar sekali saja aku berucap!"

"Aku tidak mau kau nikahi!"

"Tapi sayangnya kamu tidak punya pilihan!"

"Kau gila!"

"Kamu biangnya!"

"Kau..?"

"Kuantar kamu pulang, dan jangan keluar rumah lagi sampai matahari terbit! Kamu mengerti?"

"Siapa kau hingga mengatur hidupku? Kau cuma bawahannya papa!"

"Lalu kenapa?"

"Kau kira aku takut padamu??"

Trisya mendengus kesal.

Ia mencoba membuka pintu.

"Mau kemana?" tanya Ardi saat melihat Trisya hendak keluar.

"Tidak usah mengaturku!"

"Kalau kamu banyak ulah, aku akan menggunakan borgol untukmu!"

"Kau gila!!!"

Ardi menarik tangan Trisya.

"Duduklah dengan tenang! Jangan seperti cacing kepanasan!" ucap Ardi.

"Aku tidak ingin pulang!"

"Lalu kamu mau di jalanan saja?"

"Terserahku!"

"Keras kepalamu ini lama-lama membuatku muak!"

"Kau kira aku tidak muak? Aku tidak suka padamu! kau tahu??"

"Kamu kira aku suka padamu??"

"Kau?" Trisya kehabisan kata-kata.

"Kuantar kemana?" tanya Ardi sambil menghidupkan mesin.

Trisya tak menjawab.

"Kuantar pulang, awas kalau kamu keluar lagi ya?"

"Kau mengancamku?"

"Sesekali mengancammu tidak apa," jawab Ardi datar.

"Kenapa kau begitu menyebalkan?"

"Untukmu yang selalu membuat masalah, aku bisa lebih menyebalkan!" tukas Ardi. "Menyusahkan semua orang saja!"

"Makanya kenapa tidak kau biarkan tadi aku pergi dengan Robby?"

"Dia calon suami orang!"

"Suami ibuku saja bisa kurampas, apalagi suami orang!"

"Otakmu sepertinya tidak berguna ya?"

"Terus kenapa? Sudah berhenti disini saja! Tidak usah mengantarku!"

"Mau hujan!"

"Biar saja! Biar aku mati lalu jadi kuntilanak. Dan aku akan menghantuimu!"

Ardi menghentikan mobilnya.

"Turunlah! Membuang waktu ku saja!"

"Apa?"

Ardi mengangkat telponnya.

"Hallo.. Ok aku kesana."

Ia memandang Trisya.

"Kau mau turun disini atau tidak? Aku mau ke kantor!"

Trisya tak menjawab.

"Hei!"

"Aku mau pulang!"

"Tak jelas kau ini!" Ardi mengemudikan mobil. "Aku mau ke kantor dulu."

"Kau gila? Lalu aku kau suruh menunggu?"

"Tidur saja di mobil sampai aku selesai dengan urusanku. Salahmu sendiri, kenapa berulah!"

"Ba.."

Ardi memandang Trisya.

"Ba apa?? Mau bicara kotor lagi? Bicaralah yang baik baik saja. Kau bukannya sedang hamil?"

"Baiklah! aku tidur saja!" Trisya memejamkan mata. "Aku bisa mati muda jika punya suami segalak kamu, bang!"

***

Waktu sudah menunjukkan jam 4 dini hari ketika Ardi kembali ke mobil.

"Maaf, menunggu lama."

"Kau memang Gila, bang! Aku menunggu berjam-jam disini," Trisya memukul bahu Ardi.

"Kacanya kan aku buka? Kamu tidak kehabisan nafaskan?"

"Tapi banyak nyamuk!"

Ardi tertawa.

"Kau kira lucu?"

"Awas.." Ardi mendorong kepala Trisya agar menunduk.

"Aduh, kau kenapa?"

"Diamlah sebentar.." Ardi menahan kepala Trisya agar tetap menunduk.

"Ardi.." panggil Dika.

"Ya.." Ardi menurunkan kaca.

"Kau mau kemana?"

"Pulang.." jawab Ardi sambil menekan kepala Trisya agar lebih merundukkan badannya ke bawah.

"Tidak ikut makan bersama?"

"Next.. Aku langsung pulang saja, sampaikan pada yang lain. Badan ku rasanya tidak enak."

"Ok lah.." Dika meninggalkan tempat itu.

Ardi menaikkan kaca.

"Kau seenak hatimu memegang kepalaku!" protes Trisya.

"Dari pada dilihat Dika, bisa heran dia kenapa kamu disini!"

"Cuma Dika kan?"

"Kalau Dika keceplosan, bisa kacau!"

"Bukan urusanku. Kan kau yang dalam bencana," ejek Trisya."Tapi sumpah, kupikir kau tadi mau apa bang.."

"Otakmu mesum!"

"Papa menelponku.." kata Trisya. "Kau diam ya, bang?"

"Dari tadi bukannya kau yang mengoceh?"

"Hallo, sayang.." sapa Trisya.

"Kamu kemana? Lisha bilang tidak pulang."

"Aku bosan di rumah. Kau kapan tidur di rumahku?"

"Besok.."

"Terlalu.. sudah tahu aku bulan depan mau pergi, kau malah jarang menemuiku.." ucap Trisya. "Kau tidak rindu padaku, Richard? Belakangan ini kau selalu membiarkan aku sendirian.."

"Nanti papa telpon.."

"Ah, kau ini.. katanya cinta tapi tega membiarkan aku kesepian."

"Sampai besok," Richard menutup telpon.

"Dia ini.. Aku belum selesai bicara sudah dimatikan," gerutu Trisya.

"Kamu memanggil nama saja pada bapak?"

"Kenapa? Tidak harus kupanggil papa, dia kan bukan ayah kandungku."

"Dia jauh lebih tua darimu".

"Biar saja.."

Ardi menghela nafas. Tak ingin bicara lagi.

Mereka tiba di halaman rumah Trisya.

"Turunlah."

"Kau ini sungguh tidak ada romantisnya, bang.."

"Untuk apa?" tanya Ardi.

"Katamu mau menikahiku."

"Tidak harus langsung menjadi romantis kan?'

"Ah, sudahlah.."

"Buruan!"

"Terimakasih ya bang, sudah menemaniku hari ini dengan sangat buruknya."

"Kau membuat hati orang jengkel dengan sikapmu."

Trisya tersenyum.

"Terimakasih," ia mencium pipi Ardi dengan cepat. "See you.."

Trisya bergegas turun dan berlari menuju teras .

"Hati-hati di jalan," Trisya melambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam rumah.

Ardi tersenyum.

"Trisya.. Kadang kau memang membuat orang hampir muak dengan sikapmu.. Tapi saat kau bersikap bagai anak-anak, kau terlihat sangat istimewa.."

Handphone Ardi berdering.

"Robby?"

Ardi segera mengangkat telponnya.

"Hallo.."

"Ardi.."

"Ada apa?"

"Kau bawa kemana Trisya hingga baru pulang jam segini?"

"Kenapa memangnya?"

"Kau jangan.."

"Aku ada urusan di kantor. Jadi dia menungguku sampai selesai"

"Bagaimana bisa? Dia kau tinggalkan dalam mobil?"

"Tidak mungkin kubawa ke ruangan."

"Harusnya kau biarkan dia pergi denganku. Kau malah menahanku."

"Jangan membuat masalah Robby!"

"Kau sendiri? bukannya kau mencari masalah dengan mengatakan akan menikahinya? Bang Richard apa sudah tahu?"

"Aku memang akan dalam masalah, tapi tidak sebesar masalahmu. Jika kau memaksa memiliki dia, kau mengkhianati calon istrimu, kau juga akan dituding menghamili anak pak Richard. Beda denganku. Aku ini single. Paling kesalahanku hanya tudingan telah menghamili anak pak Richard."

"Kau benar juga.."

"Sudahlah,Rob.. kasihan Lizzie. Masa baru 2 bulan sudah mau kau tinggalkan?"

"Tapi.."

"Cintanya diakhiri saja," saran Ardi. "Sudah. Aku mau pulang."

"Tapi Ardi.."

"Masalah Trisya, jangan kau pikirkan lagi. Biar aku yang selesaikan."

"Bang Richard yang buat masalah.. Kenapa dia tidak melakukan apa-apa malah kau yang menyelesaikan."

Ardi terdiam.

"Ardi.." panggil Robby.

"Anak itu.. bukan anak pak Richard."

"Maksudmu?"

"Itu anakku."

"Apa?"

"Trisya mengandung anakku."

Robby tertawa.

"Jangan bercanda."

"Aku serius."

"Bagaimana kau begitu yakin?"

"Aku pernah tidur dengannya.. 2 bulan yang lalu."

"Apa??"

"Malam itu Trisya pulang sudah jam 1 dini hari. Bapak saat itu sedang ke Manado. Tidak tahu siapa yang mengantarnya pulang, tapi dia bilang kepalanya sakit sekali. Ia nyaris jatuh sehingga kuputuskan untuk menggendongnya ke kamar, tapi saat kuletakkan di tempat tidur tiba-tiba ia memelukku.."

"Ah, ceritamu tidak jelas!" Robby menutup telponnya.

Ardi menghela nafas.

Ingatannya melayang pada malam itu.

"Apakah aku harus mengakui saja apa yang sebenarnya terjadi?" batin Ardi.

***


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.